Saturday, December 5, 2009

Tarum, Pataruman, Tarumanagara?

Saat Pewarna Buatan Datang

PADA mulanya para pengusaha batik menggunakan pewarna alami untuk mewarnai kain batik mereka, yang terbesar berasal dari warna tarum. Lalu, zat pewarna buatan didatangkan dan diperkenalkan kepada para pengusaha batik.

Di luar dugaan, pengusaha batik lebih memilih untuk menggunakan pewarna buatan. Ketika pemerintah kolonial Belanda menghentikan impor pewarna buatan pada tahun 1914, reaksi keras datang dari pengusaha batik.

Sejak tahun 1914/1915 itulah, pamor tarum terus merosot dan tidak ada yang berusaha mengolah tarum secara lebih mudah. Bahkan kini, di bumi tarum sendiri, di Pataruman, di kawasan eks Tarumanagara, tak ada lagi tumbuhan tarum sehingga masyarakatnya tak mengenalinya lagi.

Tarum tinggal nama. Perlu membangkitkan kembali budi daya tarum, kalaupun tidak untuk zat pewarna, tumbuhan ini sangat baik karena menyuburkan tanah dan dapat menahan erosi.

Budi daya tarum

Masyarakat di Tatar Sunda membudidayakan tarum di tegalan atau di sawah. Setelah dicangkul lalu ditanam steknya. Stek yang digunakan diambil dari cabang yang paling kuat pertumbuhannya, dipotong sepanjang 30 cm dengan pisau yang tajam agar tidak sobek.

Setelah dipotong, disimpan di tempat yang dingin dengan ujung stek diletakkan di bagian atas, dibiarkan selama 1-3 hari sampai permukaan potongan stek kering. Setelah itu, barulah 2-3 stek ditaman dalam satu lubang. Tunas tampak setelah 2 minggu.

Jika yang ditanam bijinya, tiap lubang ditanami 3-4 butir, atau disemai terlebih dahulu. Semaian baru dipindahkan pada umur 1-1,5 bulan. Setelah itu, mulai disiangi dan barisan tanahnya dibentuk menjadi semacam pematang. Satu bulan kemudian disiangi dan ditinggikan
lagi. Baru pada usia 4-5 bulan, tarum dapat dipotong.

Menentukan waktu panen yang tepat memang agak sulit karena sulit berharap daun merata hijaunya. Sementara itu, bila daunnya yang berwarna hijau tua itu mulai layu dan menguning, hasil indigo menjadi kurang.

Petani yang berpengalaman cukup meremas daunnya dengan jari, ia dapat menentukan waktu panen dengan melihat warna daun yang diremas dan aroma bau daunnya. Pengumpulan daun tarum dilakukan pagi hari dengan cara memotong cabang dekat batang.

Pengolahan

Cabang-cabang tarum yang telah dipotong dimasukkan ke bejana atau bak tembok, lalu dicampur kapur dan air. Daun tarum itu ditekan dengan papan dan ditindih dengan kayu hingga terendam secara baik. Setelah beberapa jam cairan tersebut mengalami peragian. Ekstrak bahan tersebut kemudian dialirkan karena fermentasi akan memengaruhi kualitas dan jumlah hasilnya.

Lambat laun kekuatan proses ini menurun, dan permukaan air tertutup dengan lapisan tipis. Cairan itu akan berubah warnanya menjadi hijau tua. Kalau airnya telah berbau manis dan warnanya tidak lagi berubah, cairannya dipindahkan ke bejana lain dan daunnya dapat digunakan untuk membudidayakan jamur.

Cairan yang telah dipindahkan mengandung bahan uraian indoxyl,dibentuk karena pengaruh enzim yang ada dalam daun. Karena oksidasi dari indoxyl terjadi indigoblauw yang tidak larut. Pemberian oksigen dilakukan dengan menggerak-gerakkan cairan, sampai cairan tidak berbuih lagi, pada waktu tersebut warna menjadi kecoklat-coklatan, kemudian selama 12 jam digerak-gerakkan lagi sampai cairan tidak berbuih.

Kemudian bahan ini disimpan selama 3 atau 4 jam atau lebih, indigonya mulai mengendap. Cairan yang berwarna kuning dan baunya tidak enak yang ada di lapisan atas umumnya dibuang. Namun, terkadang cairan ini diberi air kapur untuk menghasilkan indigo. Indigo yang mengendap direbus untuk mendapatkan lapisan-lapisan indigo, tetapi ada juga yang dijual dalam bentuk pasta.

Indigo tersebut masih tidak larut sehingga kurang baik untuk bahan cat. Oleh karena itu, pengusaha cat Cina mencampur bubur indigo dengan tapai ketan, sedikit kapur. Kemudian air campuran tersebut dimasukkan dalam tong, diaduk-aduk dan dibiarkan selama beberapa hari. Saat itulah terjadi peragian, yang dicirikan dengan adanya buih warna biru.

Sementara itu, para pengusaha cat pribumi mengerjakan reduksi indigo dengan menggunakan gula jawa dan kapur. Ada juga yang menambahkan ke dalam cairan tadi bahan tambahan seperti pisang kelutuk, air kelapa, daun jambu biji, atau buah mengkudu.

Kain yang telah diwarnai perlu dicelup sebentar dalam air asam agar warnanya lebih hidup.

T. Bachtiar

***

Gajah Pernah Hidup di Tatar Sunda

Benda keras yang semula dikira catang kalapa (tunggul kelapa) itu ternyata fosil geraham gajah purba yang pernah berkeliaran di Tatar Sunda. Penemuan fosil ini tidak terduga. Di musim kemarau tahun 2004, sumur keluarga Ishak Surjana (55) pun makin hari semakin berkurang airnya. Maka diputuskanlah untuk memperdalam sumur yang bentuknya persegi empat itu. Putranya, Imam Rismansyah (31) dibantu Ishak melakukan pekerjaan memperdalam sumur tersebut. Saat Imam menggali lapisan yang terdiri dari pasir dan bebatuan seukuran jeruk siam, linggisnya menghantam benda keras. Saking kerasnya benda tersebut, Ishak menyarankan Imam untuk memahatnya, dan benda keras itu berhasil diangkat.

Tapi sungguh mengagetkan. Benda yang baru saja diterimanya itu bukan batu biasa. Ia memperlihatkan kepada istrinya, yang mengomentarinya, “Seperti catang kalapa!” katanya, karena bentuknya seperti serat-serat akar pohon kelapa, ada galur-galur seukuran kelingking. Keluarga itu semakin penasaran, apalagi Imam yang saat SMP dulu pernah berkunjung ke Museum Geologi, Bandung, dan melihat banyak fosil di sana. Atas dasar itulah Imam dengan diantar saudaranya mengantarkan sepotong benda itu ke Museum Geologi di Jln. Diponegoro No. 57, Bandung.

Ketika fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang, Kabupaten Bandung, 7 Juli 2004 itu diperlihatkan kepada ahlinya di Museum Geologi, Dr. Fachroel Aziz dengan hanya mengamati sepintas pun sudah langsung dapat menduga, ini adalah fosil geraham gajah Asia (Elephas maximus). Dari segi keutuhan fosil geraham, fosil dari Rancamalang ini bisa jadi merupakan fosil geraham paling utuh, bahkan di dunia. Akar giginya masih lengkap dan utuh. Di Jawa Barat, sebenarnya sudah banyak ditemukan fosil stegodon dan gajah, seperti di Baribis, di Punggungan Tambakan (Subang), di Cibinong (Bogor), di Cikamurang (Sumedang), di Cijurai ( Cirebon), atau di Mauk (Tangerang). Melihat banyaknya fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, rasanya tak kebetulan bila karuhun kita menamai tempat memakai kata gajah.

Di Kota Cimahi ada Leuwigajah, di Kabupaten Bandung ada Kampung Gajah, Gajahcipari, Gajaheretan, Gajahkantor, Gajahmekar, di Garut ada Gununggajah dan Karang Gajah, di Cirebon ada Pagajahan dan Palimanan. Nama tempat lainnya yang memakai kata gajah dicatat oleh Bujangga Manik (abad ke 16) dalam perjalanannya yang kedua mengelilingi Pulau Jawa dan Bali.

Bujangga Manik menulis:
“….Samungkur aing ti Tumbuy,
meuntasing di Ci Haliwung,
nanjak di sanghyang Darah,
nepi ka Caringinbentik,
sananjak ka Balagajah,
ku ngaing geus kaleumpangan.
Nanjak aing ka Mayangu,
ngalalar ka Kandangserang
na jalan ka Ratujaya,
ku ngaing geus kaleumpangan.
Datang ka Kadukadaka,
meuntas aing di Ci Leungsi,
nyangkidul ka Gunung Gajah….

”Melihat begitu banyaknya nama tempat yang menggunakan kata gajah, dan hampir di setiap daerah ada, sangat mungkin manusia prasejarah di Tatar Sunda sudah sangat terkesan dengan binatang berkaki empat yang ukurannya sangat besar ini.Bahkan, anak-anak di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, yang pada tahun 1960-an belum pernah melihat gajah, tetapi kalau tatarucingan (teka-teki) sehabis salat isa di masjid, ada saja anak yang memberikan soal, “Gajah depa ngegel rokrak/ruhak!” atawa “Gajah depa beureum hatena!” Jawabannya adalah hawu atau tungku.Bukan hanya nama tempat yang memakai kata gajah, tapi juga nama tokoh dalam cerita pantun Sunda, seperti Gajah Lumantung (Carita Gajah Lumantung), Prabu Munding Liman (Lalakon Kuda Wangi), Bagawad Liman Sanjaya, Dipati Gajah Waringin, Dipati Gajah Cina (Carita Raden Rangga Sawung Galing), Dipati Gajah Waringin (Carita Raden Tanjung), Gajah Hambalang (Carita Nyi Sumur Bandung), Raden Pati Gajah Menggala (Carita Panggung Keraton), Gajah Taruna Jaya (Carita Lutung Leutik), atau Gajah Siluman, Liman Sanjaya (Carita Raden Mungdinglaya Di Kusumah).

Dalam babad, ada juga Gajah Manggala dan Arya Gajah, dua pembesar Pajajaran yang menjadi utusan Prabu Siliwangi untuk melamar putri Limbangan yang cantik jelitaWalaupun pada awalnya Nyi Putri menolak lamaran itu dengan jalan menghilang dari kampungnya, sehingga meninggalkan jejak berupa nama-nama Kampung Buniwangi atau Kampung Sempil. Setelah dinasihati orangtuanya, Nyi Putri berkenan dinikahi Prabu Siliwangi. Dari pernikahannya itu mereka dikaruniai dua putra, Basudewa, dan yang satunya lagi namanya menggunakan kata gajah, Liman Sanjaya. Atau juga Anggaranting Gajah, putra dari Sanghyang Cakradewa, atau adik dari Sanghyang Borosngora dari Panjalu.

Dalam cerita Sunda kuna dari kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut yang berjudul Ratu Pakuan terdapat kata gajah.Perjalanan hidupKata gajah hampir dipakai dalam setiap kesempatan yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia Sunda. Ketika menanam padi di sawah, ada sejenis rumput yang tinggi, dengan buahnya seperti gandum yang biasa disebut petani sebagai gagajahan. Ketika berbahasa, ada peribahasa Banteng ngamuk gajah meta. Di Kepulauan Sunda Besar ada juga peribahasa, Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan Tiada gading yang tak retak. Rumput yang biasa ditanam di halaman rumah pun namanya jukut gajah. Ada juga jenis rumput jukut cengceng yang disebut juga , tapak liman, atau tanaman pot berdaun lebar di teras rumah, kuping gajah, yang pernah menjadi tanaman kesayangan para ibu. Ketika membangun rumah (ngadegkeun imah), tiang-tiang rangka dengan palang dan siku-sikunya dinamai gagajah. Demikian juga nama penyakit, kakigajah, dan Museum Nasional di Jakarta.

Tampaknya masyarakat Sundakalapa tak ambil pusing dengan nama resmi, karena di depan gedung itu ada patung gajah, maka disebutlah Gedonggajah atau Museum Gajah! Sedangkan di Kesultanan Cirebon ada kereta zaman kesultanan yang diberi nama Joli paksi naga liman. Kereta berkepala gajah, berbadan naga yang bersayap.Bahasa Jawa kuno untuk gajah adalah liman, artinya binatang buas dengan satu tangan. Bahasa Kawinya adalah asthi. Bila melacak lebih ke belakang, dalam naskah Sunda kuna, gajah adalah binatang yang sudah sangat akrab, seperti terulis dalam Carita Parahyangan. Pada saat Raja Tarumanagara, Sri Maharaja Suryawarman melepas kepergian Resiguru Manikmaya yang menikah dengan putrinya Dewi Tirthakancana, menghadiahi pengantin baru itu berupa Mandala Kendan lengkap dengan hamba sahaya, pasukan bersenjata lengkap, dan beberapa ratus warga masyarakat anak negeri.

Lebih lanjut dituliskan:“Kepada menantunya, Sri Maharaja juga memberikan berbagai harta benda, perhiasan raja, begitu juga pakaian dan tanda kebesaran raja beserta istri dan sejumlah menteri, abdi raja, para pejabat kerajaan, bahkan seluruh harta-benda, dan berbagai makanan dan minuman yang lezat, berbagai kendaraan, yaitu kereta, liman (gajah), kuda, sapi, lembu, kambing, anjing, ayam dan yang lainnya pula. (dalam Drs. Atja dan Dr. Edi S. Ekadjati, 1988).

Naskah Sunda kuna yang juga memuat kata gajah (gajendra) adalah Sanghyang Siksakandang Karesian, seperti tertulis dalam seloka: “Telaga dikisahkan angsaGajendra (gajah) mengisahkan hutanIkan mengisahkan lautBunga dikisahkan kumbang.”(dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987)Dalam naskah Sunda kuna Darmajati pun terdapat kata gajah, seperti yang ditulis di bawah ini: “Mengitarai kenyataan itu, kegiliran jadi hamba sahaya, sebab sudah ketentuan Hiyang Guru, menjadi penyelam dan pemburu, menjadi penjaring dan pemarak ikan, menjadi penggembala dan sarati (pawang gajah), menjadi pembantu dan pengusung, menjadi penyapu orang, pelindung penopang orang, perahu tidak berhenti, tersapu banjir jadi mengembang, egois jadi malu bercampur marah, racun ikan tidak mempan.”(dalam Undang A. Darsa, dkk., 2004).

Naskah Sunda kuna lainnya yang memuat kata gajah adalah Sanghyang Raga Dewata: “Adalah sepotong kayu di jalan, direbahkan ditegakkan,diberdirikan untuk dihalangkan, dipalangkan waktu kita berperang, tatkala kekuatan kita (akan) kalah. Sepertinya semua bergerak, gajah singa macan beruang,kerbau sapi badak lasun.Jangan takut oleh musuh!”(dalam Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa, 2004)Selain dalam naskah Sunda kuno, Dr. N.J. Krom, pada tahun 1914 melaporkan, banyak patung yang ditemukan di Tatar Sunda berbentuk gajah. Patung-patung itu ada yang disimpan di Museum Gajah di Jakarta. Demikian juga dalam Yantra/Mandala yang ditemukan di Tapos (Bogor). Dalam batu itu terukir gambar stilisasi gajah.

Kapan gajah datang?Bila mengamati peta bumi Kala Plestosen, keadaan itu terjadi akibat adanya perubahan iklim yang ekstrem di kawasan lintang tinggi, sehingga kawasan yang maha luas itu membeku, bersatu dengan kutub-kutubnya. Akibatnya, air laut menyusut, sehingga Paparan Sunda dan Paparan Sahul yang semula kedalamannya kira-kira 200 meter itu menjadi kering. Situasi inilah yang dijadikan alasan bagi binatang, kemudian diikuti oleh manusia untuk berjalan dari Asia menuju kawasan di daerah tropika. Pada Kala Plestosen inilah gajah datang ke Indonesia, dan hidup dengan nyaman di Jawa Barat, yang saat itu suhunya kira-kira 170C.

Kapan gajah musnah?Anak gajah (menel) yang berupa boneka kain, kini menjadi sahabat setia anak-anak. Gajah cilik yang empuk dan manis itu disukai dan dapat digendong ke mana saja oleh anak-anak. Dalam dunia usaha, gajah masih menjadi pilihan simbol yang dapat menggambarkan kekuatan atau prodak yang berukuran besar atau mempunyai daya muat besar (jumbo), seperti merek sarung, iklan kulkas, iklan mobil buntung (pick up), printer, atau kuaci. Alfred Russel Wallace, pada bulan Oktober 1861 menjelajahi Jakarta, Bogor, Gunung Gede dan Gunung Pangrango, tidak melaporkan adanya gajah yang secara alami berada di alam asli kawasan ini. Dalam ekspedisinya itu Wallace tidak mengadakan perjalanan di Bandung, yang sesungguhnya masih sangat alami. Bisa jadi karena jalan kereta untuk berkuda belum masuk ke Bandung. Keadaan jalan sampai tahun 1811 baru menyambungkan Anyer – Jakarta – Bogor – Cirebon – Semarang – Surabaya - Panarukan. Berselang 27 tahun kemudian, baru ada jalan kereta kuda antara Jakarta – Bogor – dan berakhir di Bandung.

Perburuan di Bandung yang dilakukan orang-orang Eropa pun tidak menceritakan adanya gajah yang hidup secara alami. Mereka hanya menemukan badak, tak terkecuali di sekitar Bandung. Sampai kapan gajah-gajah itu berkeliaran di Tatar Sunda? Ataukah gajah-gajah asli yang bermigrasi secara alami dari daratan Asia itu musnah ketika manusia prasejarah di Tatar Sunda menemukan perkakas, sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk membunuh gajah yang dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan makanan?

Bila fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang itu ditaksir hidup kira-kira 35.000 tahun yang lalu, pada saat itu Danau Bandung purba sedang berada pada kondisi puncak. Air danau berada pada posisi tertinggi, mencapai kontur 712,5 meter dpl. Danau Bandung purba mengering sejak 16.000 tahun yang lalu. Pada masa ini di Bandung sudah dihuni manusia, seperti adanya kerangka ngaringkuk di Gua Pawon, di perbukitan kapur Citatah, lengkap dengan perkakas batu, obsidian, tulang, cangkang siput, cangkang kemiri (muncang), bahkan ada perhiasan/kalung dari gigi ikan hiu yang sudah dilubangi.

Mungkinkah musnahnya gajah di Tatar Sunda karena adanya perubahan iklim yang ekstrem? Apakah suatu perubahan iklim yang ekstrem itu hanya berlaku di suatu kawasan, dan tidak terjadi di kawsan lain atau di pulau lainnya? Mengapa gajah di Sumatra tetap hidup hingga kini walau jumlahnya kian hari kian berkurang karena kawasannya terus dipersempit manusia?Gajah adalah binatang raksasa yang berat dan tak tahan panas. Itulah yang menyebabkan telinganya selalu mengipas-ngipas, agar suhu di dalam dapat tetap seimbang. Karena tak kuat panas itulah gajah sering pergi ke sungai atau rawa untuk berkubang. Pada umumnya, fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, berada di pinggir sungai, di bekas danau atau sungai purba. Kebiasaan gajah berendam inilah yang dimanfaatkan manusia untuk membunuhnya. Daging gajah adalah sumber protein bagi manusia prasejarah.

Musnahnya gajah di Tatar Sunda adalah pelajaran bagi manusia saat ini, di kawasan ini pernah dihuni binatang raksasa, dan hampir merata di setiap daerah, mulai dari pantai hingga dataran tinggi. Saat ini, kehauskuasaan, kerakusan, sedang berjangkit di kawasan ini. Sangat mungkin, perilaku inilah yang akan atau sudah memusnahkan beberapa mahluk Tuhan, yang kita sendiri belum menyadari betapa pentingnya keberadaan mereka bagi manusia, sementara mahluk itu sudah musnah dan tak akan pernah lahir kembali. Sayang!***

T. Bachtiar

Anggota Masyarakat Geografi Indonesia, dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Sumber: Pikiran Rakyat, Kamis, 21 Juli 2005.

Ganitri, Pohon Mata Dewa Penyerap Polutan

Di Cipagalo dan Cipadung, Bandung, ada tempat bernama Ciganitri. Ganitri adalah nama pohon, yang bijinya keras dengan permukaannya seperti yang termakan cacing, terukir alur-alur dengan aneka bentuk yang indah. Kini, biji ganitri banyak dimanfaatkan sebagai hiasan bunga kering, dan bagi pemeluk agama Hindu, biji ganitri digunakan sebagai sarana peribadatan.
Konon, pada suatu saat, air mata Siwa menitik, lalu tumbuh menjadi pohon rudraksa dan menyebar di Negeri Bharatawarsa dan sekitarnya, kemudian menyebar sampai ke bumi nusantara, nama populernya ganitri atau genitri.

Rudraksa, berasal dari kata rudra (Siwa) dan aksa (mata). Rudraksa itu buah kesayangan Siwa sehingga dianggap tinggi kesuciannya. Biji mata Siwa ini oleh penganutnya dipercaya dapat membersihkan dosa dengan melihatnya, bersentuhan, maupun dengan memakainya sebagai sarana japa. Oleh karena itu, biji-biji itu diuntai, dipergunakan untuk japa mala. Japa artinya mengulang-ulang kata suci, sedangkan mala adalah kata lain untuk tasbih atau rosario, rangkaian biji-bijian, permata, mutiara, mute, merjan, butiran keramik, atau cendana.

Selain pengaruh religius, bagi pemakainya, rudraksa dipercaya dapat memberikan efek biomedis dan bioelektromagnetis sehingga memberikan efek kesehatan, kesegaran, dan kebugaran.
Di Indonesia, pohon rudraksa disebut ganitri (Elaeocarpus ganitrus). Ada tiga jenis ganitri dan empat jenis agak berlainan yang dinamai katulampa (Elaeocarpus glabra BL.). Tinggi pohon ganitri mencapai 30 meter dengan besar batang 30-40 cm. Buahnya bulat, tergantung di ujung tangkai ranting, dengan warna biru agak ungu yang cerah dan sangat indah. Burung besar menyukai buah ini sehingga bijinya yang keluar dari kotoran burung itu warnanya cokelat yang indah.

Dalam catatan Heyne (1927), daging buahnya yang tipis itu rasanya seperti minuman anggur, oleh anak-anak gembala dimakan menjadi penyegar di saat terik matahari. Namun belum ada yang penasaran menyelidikinya untuk dibuat sirup atau selai, misalnya, sehingga pemanfaatannya bukan saja bijinya namun juga daging buahnya.

**
Ganitri dipercaya dapat menyerap polutan sehingga di beberapa jalan di Bandung ditanam ganitri sebagai pohon pelindung jalan. Pohon ini paling banyak ditanam di Jawa Tengah, Sumatra, Kalimantan, Bali, dan Timor, dengan tujuan utama diambil bijinya.
Indonesia adalah pemasok 70% kebutuhan biji ganitri dunia. Nilai transaksinya mencapai ratusan miliar rupiah. Menurut beberapa sumber, pengekspor membutuhkan 350 ton biji kering ganitri sekali kirim. Kelangkaan dan tingginya kebutuhan akan biji ganitri dunia dan banyaknya lahan kritis di lereng terjal, adalah paduan yang mungkin.

Biji ganitri yang keras dan awet itu turut menentukan harga jualnya. Ukurannya dikelompokkan menjadi 10 nomor. Nomor 1 ukuran diameternya 5 mm adalah yang terkecil, namun harganya termahal. Harga per butirnya turun sebanding dengan setiap kenaikan 0,5 mm. Nomor 1-9 dihargai per butir, sedangkan nomor 10 dihargai per kg.

Dalam penyebutan ukuran biji ganitri di Jawa pada zaman kolonial Belanda menggunakan nama anggota badan, seperti: 1. endas (kepala), 2. gulu (leher), 3. asta (lengan), 4. dada (dada), 5. weteng (perut), 6. bokong (pantat), 7. pupu (paha), 8. dengkul (lutut), 9. kental (betis), dan 10. kikil (kaki). Ukuran sesuai posisi anggota badan itu menunjukkan ukuran butiran sekaligus harganya. Semakin atas ukurannya semakin kecil, tentu harganya semakin mahal.
Oleh karena buah ganitri yang kecil mempunyai harga tinggi, para pemiliknya, seperti ditulis Heyne (1927), meniru bagaimana orang Cina yang menyewa pohon ganitri dari masyarakat, mempertahankan agar buahnya itu tidak terus membesar. Segera setelah buahnya jadi, kulit ranting-rantingnya dikerat dengan pisau tajam, tapi tidak sampai putus sehingga dapat mengurangi pengaliran zat makanan. Kerugiannya, pada saat panen, ranting-ranting itu dipatahkan, dan memerlukan waktu untuk pulih kembali.

Selain ukurannya, semakin bulat biji dan banyak mukhis-nya, jumlah lekukan, harganya semakin tinggi. Biji ganitri memiliki mukhis yang berbeda, bervariasi dari 1 hingga 21 mukhis yang masing-masing memiliki arti. Warna yang disukai adalah warna cokelat kemerahan yang cerah dengan alur-alur kekuningan. Warna cokelat tua, apalagi bentuknya tidak bulat benar, tidak disukai. Untuk mendapatkan warna yang bagus, biji ganitri terlebih dahulu direndam dalam air laut.

Bila lereng-lereng terjal ada yang dihijaukan dengan pohon ganitri, fungsi lingkungan terjaga baik karena tidak ditebang pohonnya. Fungsi ekonomi masyarakat pun terpenuhi karena dapat menikmati hasil yang luar biasa besarnya dengan memanen bijinya pada bulan September-Februari, bukan menebang pohonnya seperti bila dihijaukan dengan pohon pinus.
Tentu saja, hutan produksi yang multifungsi itu bukan hanya ditanam ganitri, namun bisa juga dengan pohon kosambi atau pohon yang pucuk dan bunganya menghasilkan atsiri. Di sempadan sungai pun sebenarnya dapat ditanam pohon mata dewa ini.

Di Bandung saat ini, pohon ganitri lebih dikenal sebagai pohon pelindung. Pada tahun 1909 diketahui bahwa di Cicalengka, Tasikmalaya, dan Banjar, pohon ganitri dibudidayakan dalam talun ganitri. Namun sayang kini sudah tak dikenal lagi adanya talun ganitri, padahal kebutuhan biji ganitri dunia terus meningkat. Bila tidak diekspor dalam bentuk biji kering, ganitri diolah menjadi kerajinan bunga kering dan untaian mala untuk peribadatan.

Warga Cilacap dan warga Desa Gadungrejo, Kebumen, Jateng ada yang membuat talun ganitri. Di sana ada warga yang hanya memiliki lahan seluas 200 m2, lalu ditanami 8 pohon ganitri. Panen perdana dari tiga pohon yang baru belajar berbuah menghasilkan 17.000-an biji senilai Rp 2,1 juta.

***

T. Bachtiar
Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Sumber :

Di Cibiru Pernah Tumbuh Pohon Biru


DR. Suhendra Yusuf, M.A., konsultan World Bank dan Pembantu Rektor Bidang Akademis Uninus pernah bertanya, apakah Cibiru di Bandung, atau Biru di Garut, nama tempat itu bersumber dari nama warna atau bukan? Sebab, kata biru jarang sekali dipergunakan dalam bahasa Sunda.
Anak-anak di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, paling tidak sampai tahun 1970-an, secara pandangan mata mereka mengetahui mana warna hijau (hejo) dan mana warna biru, atau bulao (blauw– Belanda). Akan tetapi, mereka selalu saja keliru dalam menyebutkan biru atau bulao dengan sebutan hejo (hijau). Bagi anak-anak di sana waktu itu, antara biru dan hijau merupakan warna yang dilihat selamanya, kecuali malam. Hamparan sawah, kebun, lengkungan bukit, sekeliling rumah, pohon buah-buahan, kelapa, semuanya hijau. Birunya sungai, kolam, laut, atau lengkung langit, semuanya biru, bahkan sering terkesan hijau. Dua warna itulah, hijau dan biru, merupakan warna yang paling mendominasi alam pikiran anak-anak saat itu.

Warna biru, walau jarang, terdapat dalam bahasa Sunda sehari-hari saat ini. Walaupun, warna biru tidak pernah disebut dalam carita pantun, apalagi dalam naskah kuna.
Warna biru terdapat dalam ungkapan "Euweuh nu ngaharu biru" tidak ada yang menghiraukan, tidak ada yang mengganggu. Ada juga dalam ungkapan, "Kembang biru munggéng kubur, aing ulah pegat asih" artinya kembang selasih. Warna laut, langit, atau gunung yang terlihat dari kejauhan, disebut warna paul, seperti terdapat dalam ungkapan "Alak paul" sangat jauh, "ngalamuk paul" gunung atau pulau yang terlihat dari jauh.

Di luar warna bodas (putih), beureum (merah), hideung (hitam), dan koneng (kuning), warna biru memang kurang akrab bila dibandingkan dengan warna hejo (hijau), seperti yang tercermin dalam paribasa dan babasan: Hejo tihang - suka berganti-ganti pekerjaan. Keur meujeuhna hejo lembok rambay carita - padi masak jagung mengupih, sedang dalam keadaan makmur. Hejo cokor badag sambel - kampungan sekali. Leubeut buah hejo daun sedang dalam keadaan berlimpah, tiada kekurangan, dan Ngahejokeun untuk menggambarkan seseorang yang mengijonkan barang, sebagai analog menjual padi di sawah yang masih hijau. Warna hijau pun mempunyai gradasi warna yang terperinci, seperti: hejongagedod, hejobotol, hejodaun, hejopucukcau, dan hejocarulang. Sungguh pun begitu, jarang sekali nama tempat bernama Hejo atau Cihejo.

Sesungguhnya masyarakat mengenal warna-warna lain, seperti warna yang bersumber dari corak bulu binatang. Warna bulu ayam: carambang (hitam dengan totol-totol putih-kecil), borontok (hitam dengan totol-totol putih-besar), rengge (setiap lembar bulunya merupakan campuran antara warna putih dan hitam). Mengenal juga warna bulu kucing: candramawat (kucing berbulu tiga, yaitu hitam, putih, dan merah, atau ada juga yang berpendapat berwarna hitam, dengan wajah dan kakinya warna putih semua). Ada juga warna belang, yang terdiri dari warna putih dan hitam, atau kuning dan hitam, seperti terdapat pada kulit ular, bulu harimau, atau kuda. Masyarakat juga mengenal kembang telon/kembang rampe, yang terdiri dari kembang warna putih, merah, dan kuning.

Warna tanah dan bebatuan juga telah memengaruhi warna suatu tempat, kemudian dijadikan penanda kawasan, seperti Cihideung, Cibeureum, Cikoneng, atau Cibodas. Empat warna utama ini menjadi terlihat menonjol di antara lingkungan yang berwarna hijau. Akibatnya, sungai yang dasarnya penuh lukut (lumut) hijau, sehingga airnya terlihat menjadi hijau, masyarakat tidak menamai sungai itu Ci Hejo.

Warna dalam cerita pantun

Cerita pantun yang ditelusuri adalah Gantangan Wangi, Lutung Kasarung, Bujang Pangalasan, Buyut Orenyeng, dan Kembang Panyarikan.
Warna dalam carita pantun lebih beraneka warna, dan sudah banyak menyebutkan warna yang dikenal saat ini. Warna-warna yang terdapat dalam cerita pantun adalah: hideung (hitam), beureum (merah), bodas (putih), koneng (kuning), kayas (merahmuda), dan hejo (hijau). Dari kelima cerita pantun, tak satu cerita pun yang menyebutkan warna biru, tetapi memasukkan warna hejo (hijau).

Warna yang disebut dalam cerita pantun Lutung Kasarung ada 7 warna, yaitu: beureum (merah), kayas (merah muda), hideung (hitam), dawuk ruyung (abu kehitaman), kuning/koneng (kuning), bodas (putih), dan hejo (hijau). Dalam cerita pantun Bujang Pangalasan ada empat warna, yaitu: hideung (hitam), beureum (merah), kuning (kuning), dan bodas (putih).
Cerita pantun Gantangan Wangi memuat 7 warna, yaitu warna hideung (hitam), beureum, bang, kumambang, mirah (merah), kayas (merah muda), koneng (kuning), bodas, putih (putih), gading (gading) dan hejo (hijau).
Hanya 2 warna yang disebut dalam carita pantun Buyut Orenyeng, yaitu hideung (hitam) dan koneng (kuning), sedangkan dalam carita pantun Kembang Panyarikan terdapat 7 warna, yaitu: hideung (hitam), mirah (merah), jingga (jingga), kayas (merahmuda), koneng, kuning (kuning), putih (putih), hejo (hijau).

Warna dalam naskah kuna

Ada delapan naskah kuna yang ditelusuri, yaitu naskah Ratu Pakuan (Drs. Atja, 1970), Sewaka Darma (Saleh Danasamita, dkk., 1978), Sanghyang Raga Dewata (Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa, 200empat), Darmajati (Undang A. Darsa, dkk., 200empat), Mantera Aji Cakra, dan Darma Pulih Hyang Niskala (Undang A. Darsa dan Edi S. Ekajati, 200empat) Jatiraga (Undang A. Darsa dan Edi S. Ekajati, 2005), dan Bujangga Manik (J. Noorduyn dan A. Teeuw, 2009).

Dalam naskah kuna itu terdapat empat warna utama yaitu: hireng, ireng (hitam), bang, mangbang, mirah, kapila (merah), kuning (kuning), dan putih (putih). Sangat mungkin, warna-warna inilah yang paling mudah dan menonjol warnanya, hitam dari arang, merah dari tanah yang dibakar, putih dari kerang yang dibakar, sehingga warna itu menjadi sumber atau falsafah hidup, seperti tercermin dalam papat kalima pancer dan penguasa mata angin dengan warna-warna simbolnya: Utara - hitam, selatan - merah, barat - kuning, dan timur - putih.

Naskah Ratu Pakuan memuat empat warna utama, dan ada satu warna yang tidak biasa terdapat dalam naskah kuna, yaitu warna hejo (hijau). Naskah ini memuat warna: mangbang, bang, mirah (merah), putih (putih), kuning (kuning), wulung, hideung, hideungsanten (hitam), dan hejo (hijau).
Dalam naskah Sewaka Darma, tertulis 7 warna, yaitu: hireng (hitam), bang, mangbang, mirah, kapila (merah), dewangga (jingga), dadu (merah muda), kuning (kuning), putih (putih), dan gading.

Dalam naskah Sanghyang Raga Dewata dan Darmajati, tertulis hanya warna mangbang, bang (merah), sedangkan dalam Naskah Mantera Aji Cakra dan Darma Pulih Hyang Niskala sama hanya satu warna, tetapi warna putih (putih).
Dalam naskah Jatiraga tercatat 3 warna, yaitu: hireng (hitam), kuning (kuning), dan putih (putih). Sedangkan dalam catatan Bujangga Manik, tohaan dari Pakuan Pajajaran yang mengadakan perjalanan keliling Pulau Jawa dan Bali antara abad ke-15-16, terdapat mirah (merah), dadu (merah muda), kuning/koneng (kuning), dan putih (putih).
Seperti dalam cerita pantun, dalam naskah kuna pun tidak terdapat warna hijau, apalagi warna biru.

Nama pohon: biru

Cerita pantun dan naskah kuna, dapatlah dianggap mewakili ungkapan bahasa yang terjadi saat itu. Dalam cerita pantun dan naskah kuna itu tidak terdapat warna biru, sehingga masyarakat saat itu tidak biasa menamai sesuatu, termasuk menamai tempat dengan warna biru.
Atas dasar itulah saya berkeyakinan, penamaan tempat Cibiru di Bandung dan Biru di Suci–Garut, bersumber dari nama pohon. Di sana pernah tumbuh pohon biru, di Jawa disebut pohon biyu dan di Bugis disebut pohon baru (Garuga pinnata ROXB), sehingga pohon itu menjadi ciri mandiri kawasan tersebut. Maka dinamailah tempat itu Cibiru atau Biru.

Pohon biru, seperti ditulis K. Heyne (1927), umumnya tumbuh di tempat yang ketinggiannya di bawah 500 meter di atas pemukaan laut (m.dpl). Namun di Cibiru - Bandung, yang ketinggiannya 673 m.dpl, pohon ini masih dapat tumbuh dengan subur. Batangnya lurus, tingginya mencapai 30 meter, dengan lingkaran pohon mencapai 120 cm. Kayu terasnya yang lebar dan dalam kondisi masih segar, warnanya seperti lumpur.

Apakah penamaan pohon ini biru karena bersumber dari warna bagian dalam pohon tersebut? Serat kayunya kasar, ruwet dan aneh, serta kayunya kurang keras, sehingga sulit untuk kebutuhan yang memerlukan tingkat kehalusan tertentu. Walau pun ada yang menyebutnya kurang awet, kayu baru sangat tahan bila terlindung atap, seperti dibuktikan oleh masyarakat di Bone. Penggunaannya harus dalam ukuran balok atau papan yang tidak terlalu lebar, sebab sifatnya mudah belah. Kekurangan itu menjadi terbalik bila dipergunakan untuk keperluan di bawah tanah, ternyata kayu biyu menjadi sangat kuat, seperti telah dibuktikan oleh masyarakat di Banyuwangi.

Bila mungkin, di taman kota di sekitar Cibiru, serta di lereng-lereng yang kersang di atasnya, ditanami kembali pepohonan, di antaranya dengan pohon biru.

T. Bachtiar
Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung

***