Saturday, December 5, 2009

Di Cibiru Pernah Tumbuh Pohon Biru


DR. Suhendra Yusuf, M.A., konsultan World Bank dan Pembantu Rektor Bidang Akademis Uninus pernah bertanya, apakah Cibiru di Bandung, atau Biru di Garut, nama tempat itu bersumber dari nama warna atau bukan? Sebab, kata biru jarang sekali dipergunakan dalam bahasa Sunda.
Anak-anak di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, paling tidak sampai tahun 1970-an, secara pandangan mata mereka mengetahui mana warna hijau (hejo) dan mana warna biru, atau bulao (blauw– Belanda). Akan tetapi, mereka selalu saja keliru dalam menyebutkan biru atau bulao dengan sebutan hejo (hijau). Bagi anak-anak di sana waktu itu, antara biru dan hijau merupakan warna yang dilihat selamanya, kecuali malam. Hamparan sawah, kebun, lengkungan bukit, sekeliling rumah, pohon buah-buahan, kelapa, semuanya hijau. Birunya sungai, kolam, laut, atau lengkung langit, semuanya biru, bahkan sering terkesan hijau. Dua warna itulah, hijau dan biru, merupakan warna yang paling mendominasi alam pikiran anak-anak saat itu.

Warna biru, walau jarang, terdapat dalam bahasa Sunda sehari-hari saat ini. Walaupun, warna biru tidak pernah disebut dalam carita pantun, apalagi dalam naskah kuna.
Warna biru terdapat dalam ungkapan "Euweuh nu ngaharu biru" tidak ada yang menghiraukan, tidak ada yang mengganggu. Ada juga dalam ungkapan, "Kembang biru munggéng kubur, aing ulah pegat asih" artinya kembang selasih. Warna laut, langit, atau gunung yang terlihat dari kejauhan, disebut warna paul, seperti terdapat dalam ungkapan "Alak paul" sangat jauh, "ngalamuk paul" gunung atau pulau yang terlihat dari jauh.

Di luar warna bodas (putih), beureum (merah), hideung (hitam), dan koneng (kuning), warna biru memang kurang akrab bila dibandingkan dengan warna hejo (hijau), seperti yang tercermin dalam paribasa dan babasan: Hejo tihang - suka berganti-ganti pekerjaan. Keur meujeuhna hejo lembok rambay carita - padi masak jagung mengupih, sedang dalam keadaan makmur. Hejo cokor badag sambel - kampungan sekali. Leubeut buah hejo daun sedang dalam keadaan berlimpah, tiada kekurangan, dan Ngahejokeun untuk menggambarkan seseorang yang mengijonkan barang, sebagai analog menjual padi di sawah yang masih hijau. Warna hijau pun mempunyai gradasi warna yang terperinci, seperti: hejongagedod, hejobotol, hejodaun, hejopucukcau, dan hejocarulang. Sungguh pun begitu, jarang sekali nama tempat bernama Hejo atau Cihejo.

Sesungguhnya masyarakat mengenal warna-warna lain, seperti warna yang bersumber dari corak bulu binatang. Warna bulu ayam: carambang (hitam dengan totol-totol putih-kecil), borontok (hitam dengan totol-totol putih-besar), rengge (setiap lembar bulunya merupakan campuran antara warna putih dan hitam). Mengenal juga warna bulu kucing: candramawat (kucing berbulu tiga, yaitu hitam, putih, dan merah, atau ada juga yang berpendapat berwarna hitam, dengan wajah dan kakinya warna putih semua). Ada juga warna belang, yang terdiri dari warna putih dan hitam, atau kuning dan hitam, seperti terdapat pada kulit ular, bulu harimau, atau kuda. Masyarakat juga mengenal kembang telon/kembang rampe, yang terdiri dari kembang warna putih, merah, dan kuning.

Warna tanah dan bebatuan juga telah memengaruhi warna suatu tempat, kemudian dijadikan penanda kawasan, seperti Cihideung, Cibeureum, Cikoneng, atau Cibodas. Empat warna utama ini menjadi terlihat menonjol di antara lingkungan yang berwarna hijau. Akibatnya, sungai yang dasarnya penuh lukut (lumut) hijau, sehingga airnya terlihat menjadi hijau, masyarakat tidak menamai sungai itu Ci Hejo.

Warna dalam cerita pantun

Cerita pantun yang ditelusuri adalah Gantangan Wangi, Lutung Kasarung, Bujang Pangalasan, Buyut Orenyeng, dan Kembang Panyarikan.
Warna dalam carita pantun lebih beraneka warna, dan sudah banyak menyebutkan warna yang dikenal saat ini. Warna-warna yang terdapat dalam cerita pantun adalah: hideung (hitam), beureum (merah), bodas (putih), koneng (kuning), kayas (merahmuda), dan hejo (hijau). Dari kelima cerita pantun, tak satu cerita pun yang menyebutkan warna biru, tetapi memasukkan warna hejo (hijau).

Warna yang disebut dalam cerita pantun Lutung Kasarung ada 7 warna, yaitu: beureum (merah), kayas (merah muda), hideung (hitam), dawuk ruyung (abu kehitaman), kuning/koneng (kuning), bodas (putih), dan hejo (hijau). Dalam cerita pantun Bujang Pangalasan ada empat warna, yaitu: hideung (hitam), beureum (merah), kuning (kuning), dan bodas (putih).
Cerita pantun Gantangan Wangi memuat 7 warna, yaitu warna hideung (hitam), beureum, bang, kumambang, mirah (merah), kayas (merah muda), koneng (kuning), bodas, putih (putih), gading (gading) dan hejo (hijau).
Hanya 2 warna yang disebut dalam carita pantun Buyut Orenyeng, yaitu hideung (hitam) dan koneng (kuning), sedangkan dalam carita pantun Kembang Panyarikan terdapat 7 warna, yaitu: hideung (hitam), mirah (merah), jingga (jingga), kayas (merahmuda), koneng, kuning (kuning), putih (putih), hejo (hijau).

Warna dalam naskah kuna

Ada delapan naskah kuna yang ditelusuri, yaitu naskah Ratu Pakuan (Drs. Atja, 1970), Sewaka Darma (Saleh Danasamita, dkk., 1978), Sanghyang Raga Dewata (Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa, 200empat), Darmajati (Undang A. Darsa, dkk., 200empat), Mantera Aji Cakra, dan Darma Pulih Hyang Niskala (Undang A. Darsa dan Edi S. Ekajati, 200empat) Jatiraga (Undang A. Darsa dan Edi S. Ekajati, 2005), dan Bujangga Manik (J. Noorduyn dan A. Teeuw, 2009).

Dalam naskah kuna itu terdapat empat warna utama yaitu: hireng, ireng (hitam), bang, mangbang, mirah, kapila (merah), kuning (kuning), dan putih (putih). Sangat mungkin, warna-warna inilah yang paling mudah dan menonjol warnanya, hitam dari arang, merah dari tanah yang dibakar, putih dari kerang yang dibakar, sehingga warna itu menjadi sumber atau falsafah hidup, seperti tercermin dalam papat kalima pancer dan penguasa mata angin dengan warna-warna simbolnya: Utara - hitam, selatan - merah, barat - kuning, dan timur - putih.

Naskah Ratu Pakuan memuat empat warna utama, dan ada satu warna yang tidak biasa terdapat dalam naskah kuna, yaitu warna hejo (hijau). Naskah ini memuat warna: mangbang, bang, mirah (merah), putih (putih), kuning (kuning), wulung, hideung, hideungsanten (hitam), dan hejo (hijau).
Dalam naskah Sewaka Darma, tertulis 7 warna, yaitu: hireng (hitam), bang, mangbang, mirah, kapila (merah), dewangga (jingga), dadu (merah muda), kuning (kuning), putih (putih), dan gading.

Dalam naskah Sanghyang Raga Dewata dan Darmajati, tertulis hanya warna mangbang, bang (merah), sedangkan dalam Naskah Mantera Aji Cakra dan Darma Pulih Hyang Niskala sama hanya satu warna, tetapi warna putih (putih).
Dalam naskah Jatiraga tercatat 3 warna, yaitu: hireng (hitam), kuning (kuning), dan putih (putih). Sedangkan dalam catatan Bujangga Manik, tohaan dari Pakuan Pajajaran yang mengadakan perjalanan keliling Pulau Jawa dan Bali antara abad ke-15-16, terdapat mirah (merah), dadu (merah muda), kuning/koneng (kuning), dan putih (putih).
Seperti dalam cerita pantun, dalam naskah kuna pun tidak terdapat warna hijau, apalagi warna biru.

Nama pohon: biru

Cerita pantun dan naskah kuna, dapatlah dianggap mewakili ungkapan bahasa yang terjadi saat itu. Dalam cerita pantun dan naskah kuna itu tidak terdapat warna biru, sehingga masyarakat saat itu tidak biasa menamai sesuatu, termasuk menamai tempat dengan warna biru.
Atas dasar itulah saya berkeyakinan, penamaan tempat Cibiru di Bandung dan Biru di Suci–Garut, bersumber dari nama pohon. Di sana pernah tumbuh pohon biru, di Jawa disebut pohon biyu dan di Bugis disebut pohon baru (Garuga pinnata ROXB), sehingga pohon itu menjadi ciri mandiri kawasan tersebut. Maka dinamailah tempat itu Cibiru atau Biru.

Pohon biru, seperti ditulis K. Heyne (1927), umumnya tumbuh di tempat yang ketinggiannya di bawah 500 meter di atas pemukaan laut (m.dpl). Namun di Cibiru - Bandung, yang ketinggiannya 673 m.dpl, pohon ini masih dapat tumbuh dengan subur. Batangnya lurus, tingginya mencapai 30 meter, dengan lingkaran pohon mencapai 120 cm. Kayu terasnya yang lebar dan dalam kondisi masih segar, warnanya seperti lumpur.

Apakah penamaan pohon ini biru karena bersumber dari warna bagian dalam pohon tersebut? Serat kayunya kasar, ruwet dan aneh, serta kayunya kurang keras, sehingga sulit untuk kebutuhan yang memerlukan tingkat kehalusan tertentu. Walau pun ada yang menyebutnya kurang awet, kayu baru sangat tahan bila terlindung atap, seperti dibuktikan oleh masyarakat di Bone. Penggunaannya harus dalam ukuran balok atau papan yang tidak terlalu lebar, sebab sifatnya mudah belah. Kekurangan itu menjadi terbalik bila dipergunakan untuk keperluan di bawah tanah, ternyata kayu biyu menjadi sangat kuat, seperti telah dibuktikan oleh masyarakat di Banyuwangi.

Bila mungkin, di taman kota di sekitar Cibiru, serta di lereng-lereng yang kersang di atasnya, ditanami kembali pepohonan, di antaranya dengan pohon biru.

T. Bachtiar
Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung

***

1 comment:

  1. Dalam cerita bujangga manik di dsebutkan pernah mampir ke gunung kumbang.
    Dalam sejarah gunung kumbang di sebutkan bujangga manik membuat sumur jala tunda dan akhirnya di tutup oleh kian santang oleh batu jala sutra.
    Jadi kahidupan bujangga manik bersamaan dengan kahidupan kian santang.

    ReplyDelete