Saturday, December 5, 2009

Tarum, Pataruman, Tarumanagara?

Saat Pewarna Buatan Datang

PADA mulanya para pengusaha batik menggunakan pewarna alami untuk mewarnai kain batik mereka, yang terbesar berasal dari warna tarum. Lalu, zat pewarna buatan didatangkan dan diperkenalkan kepada para pengusaha batik.

Di luar dugaan, pengusaha batik lebih memilih untuk menggunakan pewarna buatan. Ketika pemerintah kolonial Belanda menghentikan impor pewarna buatan pada tahun 1914, reaksi keras datang dari pengusaha batik.

Sejak tahun 1914/1915 itulah, pamor tarum terus merosot dan tidak ada yang berusaha mengolah tarum secara lebih mudah. Bahkan kini, di bumi tarum sendiri, di Pataruman, di kawasan eks Tarumanagara, tak ada lagi tumbuhan tarum sehingga masyarakatnya tak mengenalinya lagi.

Tarum tinggal nama. Perlu membangkitkan kembali budi daya tarum, kalaupun tidak untuk zat pewarna, tumbuhan ini sangat baik karena menyuburkan tanah dan dapat menahan erosi.

Budi daya tarum

Masyarakat di Tatar Sunda membudidayakan tarum di tegalan atau di sawah. Setelah dicangkul lalu ditanam steknya. Stek yang digunakan diambil dari cabang yang paling kuat pertumbuhannya, dipotong sepanjang 30 cm dengan pisau yang tajam agar tidak sobek.

Setelah dipotong, disimpan di tempat yang dingin dengan ujung stek diletakkan di bagian atas, dibiarkan selama 1-3 hari sampai permukaan potongan stek kering. Setelah itu, barulah 2-3 stek ditaman dalam satu lubang. Tunas tampak setelah 2 minggu.

Jika yang ditanam bijinya, tiap lubang ditanami 3-4 butir, atau disemai terlebih dahulu. Semaian baru dipindahkan pada umur 1-1,5 bulan. Setelah itu, mulai disiangi dan barisan tanahnya dibentuk menjadi semacam pematang. Satu bulan kemudian disiangi dan ditinggikan
lagi. Baru pada usia 4-5 bulan, tarum dapat dipotong.

Menentukan waktu panen yang tepat memang agak sulit karena sulit berharap daun merata hijaunya. Sementara itu, bila daunnya yang berwarna hijau tua itu mulai layu dan menguning, hasil indigo menjadi kurang.

Petani yang berpengalaman cukup meremas daunnya dengan jari, ia dapat menentukan waktu panen dengan melihat warna daun yang diremas dan aroma bau daunnya. Pengumpulan daun tarum dilakukan pagi hari dengan cara memotong cabang dekat batang.

Pengolahan

Cabang-cabang tarum yang telah dipotong dimasukkan ke bejana atau bak tembok, lalu dicampur kapur dan air. Daun tarum itu ditekan dengan papan dan ditindih dengan kayu hingga terendam secara baik. Setelah beberapa jam cairan tersebut mengalami peragian. Ekstrak bahan tersebut kemudian dialirkan karena fermentasi akan memengaruhi kualitas dan jumlah hasilnya.

Lambat laun kekuatan proses ini menurun, dan permukaan air tertutup dengan lapisan tipis. Cairan itu akan berubah warnanya menjadi hijau tua. Kalau airnya telah berbau manis dan warnanya tidak lagi berubah, cairannya dipindahkan ke bejana lain dan daunnya dapat digunakan untuk membudidayakan jamur.

Cairan yang telah dipindahkan mengandung bahan uraian indoxyl,dibentuk karena pengaruh enzim yang ada dalam daun. Karena oksidasi dari indoxyl terjadi indigoblauw yang tidak larut. Pemberian oksigen dilakukan dengan menggerak-gerakkan cairan, sampai cairan tidak berbuih lagi, pada waktu tersebut warna menjadi kecoklat-coklatan, kemudian selama 12 jam digerak-gerakkan lagi sampai cairan tidak berbuih.

Kemudian bahan ini disimpan selama 3 atau 4 jam atau lebih, indigonya mulai mengendap. Cairan yang berwarna kuning dan baunya tidak enak yang ada di lapisan atas umumnya dibuang. Namun, terkadang cairan ini diberi air kapur untuk menghasilkan indigo. Indigo yang mengendap direbus untuk mendapatkan lapisan-lapisan indigo, tetapi ada juga yang dijual dalam bentuk pasta.

Indigo tersebut masih tidak larut sehingga kurang baik untuk bahan cat. Oleh karena itu, pengusaha cat Cina mencampur bubur indigo dengan tapai ketan, sedikit kapur. Kemudian air campuran tersebut dimasukkan dalam tong, diaduk-aduk dan dibiarkan selama beberapa hari. Saat itulah terjadi peragian, yang dicirikan dengan adanya buih warna biru.

Sementara itu, para pengusaha cat pribumi mengerjakan reduksi indigo dengan menggunakan gula jawa dan kapur. Ada juga yang menambahkan ke dalam cairan tadi bahan tambahan seperti pisang kelutuk, air kelapa, daun jambu biji, atau buah mengkudu.

Kain yang telah diwarnai perlu dicelup sebentar dalam air asam agar warnanya lebih hidup.

T. Bachtiar

***

No comments:

Post a Comment