Saturday, December 5, 2009

Gajah Pernah Hidup di Tatar Sunda

Benda keras yang semula dikira catang kalapa (tunggul kelapa) itu ternyata fosil geraham gajah purba yang pernah berkeliaran di Tatar Sunda. Penemuan fosil ini tidak terduga. Di musim kemarau tahun 2004, sumur keluarga Ishak Surjana (55) pun makin hari semakin berkurang airnya. Maka diputuskanlah untuk memperdalam sumur yang bentuknya persegi empat itu. Putranya, Imam Rismansyah (31) dibantu Ishak melakukan pekerjaan memperdalam sumur tersebut. Saat Imam menggali lapisan yang terdiri dari pasir dan bebatuan seukuran jeruk siam, linggisnya menghantam benda keras. Saking kerasnya benda tersebut, Ishak menyarankan Imam untuk memahatnya, dan benda keras itu berhasil diangkat.

Tapi sungguh mengagetkan. Benda yang baru saja diterimanya itu bukan batu biasa. Ia memperlihatkan kepada istrinya, yang mengomentarinya, “Seperti catang kalapa!” katanya, karena bentuknya seperti serat-serat akar pohon kelapa, ada galur-galur seukuran kelingking. Keluarga itu semakin penasaran, apalagi Imam yang saat SMP dulu pernah berkunjung ke Museum Geologi, Bandung, dan melihat banyak fosil di sana. Atas dasar itulah Imam dengan diantar saudaranya mengantarkan sepotong benda itu ke Museum Geologi di Jln. Diponegoro No. 57, Bandung.

Ketika fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang, Kabupaten Bandung, 7 Juli 2004 itu diperlihatkan kepada ahlinya di Museum Geologi, Dr. Fachroel Aziz dengan hanya mengamati sepintas pun sudah langsung dapat menduga, ini adalah fosil geraham gajah Asia (Elephas maximus). Dari segi keutuhan fosil geraham, fosil dari Rancamalang ini bisa jadi merupakan fosil geraham paling utuh, bahkan di dunia. Akar giginya masih lengkap dan utuh. Di Jawa Barat, sebenarnya sudah banyak ditemukan fosil stegodon dan gajah, seperti di Baribis, di Punggungan Tambakan (Subang), di Cibinong (Bogor), di Cikamurang (Sumedang), di Cijurai ( Cirebon), atau di Mauk (Tangerang). Melihat banyaknya fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, rasanya tak kebetulan bila karuhun kita menamai tempat memakai kata gajah.

Di Kota Cimahi ada Leuwigajah, di Kabupaten Bandung ada Kampung Gajah, Gajahcipari, Gajaheretan, Gajahkantor, Gajahmekar, di Garut ada Gununggajah dan Karang Gajah, di Cirebon ada Pagajahan dan Palimanan. Nama tempat lainnya yang memakai kata gajah dicatat oleh Bujangga Manik (abad ke 16) dalam perjalanannya yang kedua mengelilingi Pulau Jawa dan Bali.

Bujangga Manik menulis:
“….Samungkur aing ti Tumbuy,
meuntasing di Ci Haliwung,
nanjak di sanghyang Darah,
nepi ka Caringinbentik,
sananjak ka Balagajah,
ku ngaing geus kaleumpangan.
Nanjak aing ka Mayangu,
ngalalar ka Kandangserang
na jalan ka Ratujaya,
ku ngaing geus kaleumpangan.
Datang ka Kadukadaka,
meuntas aing di Ci Leungsi,
nyangkidul ka Gunung Gajah….

”Melihat begitu banyaknya nama tempat yang menggunakan kata gajah, dan hampir di setiap daerah ada, sangat mungkin manusia prasejarah di Tatar Sunda sudah sangat terkesan dengan binatang berkaki empat yang ukurannya sangat besar ini.Bahkan, anak-anak di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, yang pada tahun 1960-an belum pernah melihat gajah, tetapi kalau tatarucingan (teka-teki) sehabis salat isa di masjid, ada saja anak yang memberikan soal, “Gajah depa ngegel rokrak/ruhak!” atawa “Gajah depa beureum hatena!” Jawabannya adalah hawu atau tungku.Bukan hanya nama tempat yang memakai kata gajah, tapi juga nama tokoh dalam cerita pantun Sunda, seperti Gajah Lumantung (Carita Gajah Lumantung), Prabu Munding Liman (Lalakon Kuda Wangi), Bagawad Liman Sanjaya, Dipati Gajah Waringin, Dipati Gajah Cina (Carita Raden Rangga Sawung Galing), Dipati Gajah Waringin (Carita Raden Tanjung), Gajah Hambalang (Carita Nyi Sumur Bandung), Raden Pati Gajah Menggala (Carita Panggung Keraton), Gajah Taruna Jaya (Carita Lutung Leutik), atau Gajah Siluman, Liman Sanjaya (Carita Raden Mungdinglaya Di Kusumah).

Dalam babad, ada juga Gajah Manggala dan Arya Gajah, dua pembesar Pajajaran yang menjadi utusan Prabu Siliwangi untuk melamar putri Limbangan yang cantik jelitaWalaupun pada awalnya Nyi Putri menolak lamaran itu dengan jalan menghilang dari kampungnya, sehingga meninggalkan jejak berupa nama-nama Kampung Buniwangi atau Kampung Sempil. Setelah dinasihati orangtuanya, Nyi Putri berkenan dinikahi Prabu Siliwangi. Dari pernikahannya itu mereka dikaruniai dua putra, Basudewa, dan yang satunya lagi namanya menggunakan kata gajah, Liman Sanjaya. Atau juga Anggaranting Gajah, putra dari Sanghyang Cakradewa, atau adik dari Sanghyang Borosngora dari Panjalu.

Dalam cerita Sunda kuna dari kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut yang berjudul Ratu Pakuan terdapat kata gajah.Perjalanan hidupKata gajah hampir dipakai dalam setiap kesempatan yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia Sunda. Ketika menanam padi di sawah, ada sejenis rumput yang tinggi, dengan buahnya seperti gandum yang biasa disebut petani sebagai gagajahan. Ketika berbahasa, ada peribahasa Banteng ngamuk gajah meta. Di Kepulauan Sunda Besar ada juga peribahasa, Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan Tiada gading yang tak retak. Rumput yang biasa ditanam di halaman rumah pun namanya jukut gajah. Ada juga jenis rumput jukut cengceng yang disebut juga , tapak liman, atau tanaman pot berdaun lebar di teras rumah, kuping gajah, yang pernah menjadi tanaman kesayangan para ibu. Ketika membangun rumah (ngadegkeun imah), tiang-tiang rangka dengan palang dan siku-sikunya dinamai gagajah. Demikian juga nama penyakit, kakigajah, dan Museum Nasional di Jakarta.

Tampaknya masyarakat Sundakalapa tak ambil pusing dengan nama resmi, karena di depan gedung itu ada patung gajah, maka disebutlah Gedonggajah atau Museum Gajah! Sedangkan di Kesultanan Cirebon ada kereta zaman kesultanan yang diberi nama Joli paksi naga liman. Kereta berkepala gajah, berbadan naga yang bersayap.Bahasa Jawa kuno untuk gajah adalah liman, artinya binatang buas dengan satu tangan. Bahasa Kawinya adalah asthi. Bila melacak lebih ke belakang, dalam naskah Sunda kuna, gajah adalah binatang yang sudah sangat akrab, seperti terulis dalam Carita Parahyangan. Pada saat Raja Tarumanagara, Sri Maharaja Suryawarman melepas kepergian Resiguru Manikmaya yang menikah dengan putrinya Dewi Tirthakancana, menghadiahi pengantin baru itu berupa Mandala Kendan lengkap dengan hamba sahaya, pasukan bersenjata lengkap, dan beberapa ratus warga masyarakat anak negeri.

Lebih lanjut dituliskan:“Kepada menantunya, Sri Maharaja juga memberikan berbagai harta benda, perhiasan raja, begitu juga pakaian dan tanda kebesaran raja beserta istri dan sejumlah menteri, abdi raja, para pejabat kerajaan, bahkan seluruh harta-benda, dan berbagai makanan dan minuman yang lezat, berbagai kendaraan, yaitu kereta, liman (gajah), kuda, sapi, lembu, kambing, anjing, ayam dan yang lainnya pula. (dalam Drs. Atja dan Dr. Edi S. Ekadjati, 1988).

Naskah Sunda kuna yang juga memuat kata gajah (gajendra) adalah Sanghyang Siksakandang Karesian, seperti tertulis dalam seloka: “Telaga dikisahkan angsaGajendra (gajah) mengisahkan hutanIkan mengisahkan lautBunga dikisahkan kumbang.”(dalam Saleh Danasasmita, dkk., 1987)Dalam naskah Sunda kuna Darmajati pun terdapat kata gajah, seperti yang ditulis di bawah ini: “Mengitarai kenyataan itu, kegiliran jadi hamba sahaya, sebab sudah ketentuan Hiyang Guru, menjadi penyelam dan pemburu, menjadi penjaring dan pemarak ikan, menjadi penggembala dan sarati (pawang gajah), menjadi pembantu dan pengusung, menjadi penyapu orang, pelindung penopang orang, perahu tidak berhenti, tersapu banjir jadi mengembang, egois jadi malu bercampur marah, racun ikan tidak mempan.”(dalam Undang A. Darsa, dkk., 2004).

Naskah Sunda kuna lainnya yang memuat kata gajah adalah Sanghyang Raga Dewata: “Adalah sepotong kayu di jalan, direbahkan ditegakkan,diberdirikan untuk dihalangkan, dipalangkan waktu kita berperang, tatkala kekuatan kita (akan) kalah. Sepertinya semua bergerak, gajah singa macan beruang,kerbau sapi badak lasun.Jangan takut oleh musuh!”(dalam Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa, 2004)Selain dalam naskah Sunda kuno, Dr. N.J. Krom, pada tahun 1914 melaporkan, banyak patung yang ditemukan di Tatar Sunda berbentuk gajah. Patung-patung itu ada yang disimpan di Museum Gajah di Jakarta. Demikian juga dalam Yantra/Mandala yang ditemukan di Tapos (Bogor). Dalam batu itu terukir gambar stilisasi gajah.

Kapan gajah datang?Bila mengamati peta bumi Kala Plestosen, keadaan itu terjadi akibat adanya perubahan iklim yang ekstrem di kawasan lintang tinggi, sehingga kawasan yang maha luas itu membeku, bersatu dengan kutub-kutubnya. Akibatnya, air laut menyusut, sehingga Paparan Sunda dan Paparan Sahul yang semula kedalamannya kira-kira 200 meter itu menjadi kering. Situasi inilah yang dijadikan alasan bagi binatang, kemudian diikuti oleh manusia untuk berjalan dari Asia menuju kawasan di daerah tropika. Pada Kala Plestosen inilah gajah datang ke Indonesia, dan hidup dengan nyaman di Jawa Barat, yang saat itu suhunya kira-kira 170C.

Kapan gajah musnah?Anak gajah (menel) yang berupa boneka kain, kini menjadi sahabat setia anak-anak. Gajah cilik yang empuk dan manis itu disukai dan dapat digendong ke mana saja oleh anak-anak. Dalam dunia usaha, gajah masih menjadi pilihan simbol yang dapat menggambarkan kekuatan atau prodak yang berukuran besar atau mempunyai daya muat besar (jumbo), seperti merek sarung, iklan kulkas, iklan mobil buntung (pick up), printer, atau kuaci. Alfred Russel Wallace, pada bulan Oktober 1861 menjelajahi Jakarta, Bogor, Gunung Gede dan Gunung Pangrango, tidak melaporkan adanya gajah yang secara alami berada di alam asli kawasan ini. Dalam ekspedisinya itu Wallace tidak mengadakan perjalanan di Bandung, yang sesungguhnya masih sangat alami. Bisa jadi karena jalan kereta untuk berkuda belum masuk ke Bandung. Keadaan jalan sampai tahun 1811 baru menyambungkan Anyer – Jakarta – Bogor – Cirebon – Semarang – Surabaya - Panarukan. Berselang 27 tahun kemudian, baru ada jalan kereta kuda antara Jakarta – Bogor – dan berakhir di Bandung.

Perburuan di Bandung yang dilakukan orang-orang Eropa pun tidak menceritakan adanya gajah yang hidup secara alami. Mereka hanya menemukan badak, tak terkecuali di sekitar Bandung. Sampai kapan gajah-gajah itu berkeliaran di Tatar Sunda? Ataukah gajah-gajah asli yang bermigrasi secara alami dari daratan Asia itu musnah ketika manusia prasejarah di Tatar Sunda menemukan perkakas, sehingga mereka mempunyai kekuatan untuk membunuh gajah yang dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan makanan?

Bila fosil gajah yang ditemukan di Rancamalang itu ditaksir hidup kira-kira 35.000 tahun yang lalu, pada saat itu Danau Bandung purba sedang berada pada kondisi puncak. Air danau berada pada posisi tertinggi, mencapai kontur 712,5 meter dpl. Danau Bandung purba mengering sejak 16.000 tahun yang lalu. Pada masa ini di Bandung sudah dihuni manusia, seperti adanya kerangka ngaringkuk di Gua Pawon, di perbukitan kapur Citatah, lengkap dengan perkakas batu, obsidian, tulang, cangkang siput, cangkang kemiri (muncang), bahkan ada perhiasan/kalung dari gigi ikan hiu yang sudah dilubangi.

Mungkinkah musnahnya gajah di Tatar Sunda karena adanya perubahan iklim yang ekstrem? Apakah suatu perubahan iklim yang ekstrem itu hanya berlaku di suatu kawasan, dan tidak terjadi di kawsan lain atau di pulau lainnya? Mengapa gajah di Sumatra tetap hidup hingga kini walau jumlahnya kian hari kian berkurang karena kawasannya terus dipersempit manusia?Gajah adalah binatang raksasa yang berat dan tak tahan panas. Itulah yang menyebabkan telinganya selalu mengipas-ngipas, agar suhu di dalam dapat tetap seimbang. Karena tak kuat panas itulah gajah sering pergi ke sungai atau rawa untuk berkubang. Pada umumnya, fosil gajah yang ditemukan di Jawa Barat, berada di pinggir sungai, di bekas danau atau sungai purba. Kebiasaan gajah berendam inilah yang dimanfaatkan manusia untuk membunuhnya. Daging gajah adalah sumber protein bagi manusia prasejarah.

Musnahnya gajah di Tatar Sunda adalah pelajaran bagi manusia saat ini, di kawasan ini pernah dihuni binatang raksasa, dan hampir merata di setiap daerah, mulai dari pantai hingga dataran tinggi. Saat ini, kehauskuasaan, kerakusan, sedang berjangkit di kawasan ini. Sangat mungkin, perilaku inilah yang akan atau sudah memusnahkan beberapa mahluk Tuhan, yang kita sendiri belum menyadari betapa pentingnya keberadaan mereka bagi manusia, sementara mahluk itu sudah musnah dan tak akan pernah lahir kembali. Sayang!***

T. Bachtiar

Anggota Masyarakat Geografi Indonesia, dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Sumber: Pikiran Rakyat, Kamis, 21 Juli 2005.

No comments:

Post a Comment